Zainal Arifin Mochtar, dilahirkan di Makassar (dulu Ujung Pandang) pada 8 Desember 1978. Pernah menjadi Peneliti di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2005) dan sejak 2005 hingga sekarang menjadi pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia menyelesaikan studi strata satu ilmu hukum di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 2003. Lalu melanjutkan studi strata dua dengan beasiswa Fullbright di Northwestern University, Chicago USA, dan tamat pada 2006. Di sana ia menyelesaikannya dengan mendapatkan gelar LLM with Honour. Pendidikan strata tiga ia selesaikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Juga pernah mengikuti short course di beberapa negara, semisal Amerika, Belanda, dan Jepang. Pernah pula mengikuti program visiting di Nagoya University dan Gakshuin University.
Ia menulis dan tulisannya sering menghias opini hukum di berbagai media, seperti Kompas, Majalah Tempo, Media Indonesia, Koran Tempo, Seputar Indonesia, dan lainnya. Bahkan juga menulis di mojok.com. Isyu yang ia bahas seputar hukum tata negara, administrasi negara, maupun hukum antikorupsi. Telah menuliskan beberapa buku; diantaranya Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataan Kembali Pasca Amandemen, Menegakkan Konstitusi Melawan Korupsi, Menjerat Korupsi Partai Politik (ditulis bersama Eddy O.S.Hiariej), Dasar-Dasar Ilmu Hukum (juga ditulis bersama Eddy OS Hiariej), Parlemen Dua Kamar: Analisis Perbandingan Menuju Sistem Bikameral Efektif (ditulis Bersama Saldi Isra), dan Kekuasaan Kehakiman. Ia pernah dianugerahi Anugerah Konstitusi Muhammad Yamin (AKMY) kategori Pemikir Muda Hukum Tata Negara Tahun 2016, serta menjadi salah seorang yang mendapatkan Anugerah Penulis Opini Konstitusi Terbaik oleh Mahkamah Konstitusi 2018. Ia menggawangi Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM Yogyakarta 2008-2018 dan saat ini jadi penasihat di lembaga tersebut. Penyuka baca, lari dan sepak bola, sekaligus milanisti sejati.
-
Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang
Partisipasi mandek, aspirasi seret. Dalam banyak hal, legislasi menjadi proses ugal-ugalan. Semua dibuat berdasarkan keinginan dan kepentingan terbatas, tidak untuk publik luas. Kepentingan publik dinafikan. la adalah petaka legislasi yang disambut riuh oligarki. Kini kita mudah menemukan betapa negara menjauh dari perumusan politik hukum yang seharusnya. Kebijakan publik dalam bentuk UU yang dibangun berbasiskan paradigma yang pas nyaris punah. Jika bukan lahir karena kepentingan, ia biasanya lahir dari pragmatisme peraturan.