-
Parade yang Tak Pernah Usai
Bagaimana bila konsep queer yang menolak keajegan kotak-kotak gender dan seksualitas dipadankan dengan pengembaraan dan penjelajahan terhadap suatu masa yang penuh rahasia, sekaligus hanya dapat didekati oleh imajinasi yang tak dibendung oleh batas-batas apapun? Temukan dalam buku ini.
-
Yang Menguar di Gang Mawar
Dalam debutnya ini, Asri Pratiwi Wulandari menyajikan 11 cerita tentang para penghuni Gang Mawar yang misterius dan kelam, dengan sisa-sisa harapan yang terus bertumbuh. Sebuah semesta kecil yang begitu kompleks. Kompleksitas ceritanya menusuk persis di jantung tatanan hidup yang sudah sangat cis-heteropatriarkis.
-
Nona Penyimpan Rahasia
Cerita-cerita pendek dalam buku ini menggambarkan betapa banyaknya manusia modern harus menjalani kehidupan penuh rahasia dan kepalsuan. Rahasia-rahasia itu dapat disimpan di mana saja, kebohongan-kebohongan itu dapat terjadi di mana saja, dapat dilakukan oleh siapa saja, tak terkecuali orang-orang terdekat kita. Lantas, bagaimana jika kebohongan itu sengaja kita ciptakan sendiri untuk bertahan di bawah tekanan? Bagaimana jika rahasia itu selamanya akan tetap menjadi rahasia?
-
Di Tepian Itu
Candrasangkala dalam buku ini menguraikan betapa sebuah hubungan bisa berkaitan erat dengan banyak nilai dalam kehidupan: kemanusiaan, toleransi, perjuangan, dan solidaritas.
-
Yang Tersisa dari yang Tersisa
Dalam Yang Tersisa dari yang Tersisa ini Nurhady Sirimorok menyajikan narasi tentang desa yang cukup realistis. Sama halnya dengan kota, ia menggambarkan bahwa desa juga memiliki problemnya sendiri. Mulai dari masalah kesejahteraan sampai pencarian identitas orang-orang muda di desa yang beranjak dewasa. Para penduduk desa pun diceritakan memiliki mekanismenya sendiri untuk memecahkan persoalan yang membelit mereka. Walaupun pada akhirnya tidak semua masalah itu dapat diselesaikan dengan baik juga.
-
Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat
Novel Kedung Darma Romansha ini bercerita tentang dunia prostitusi, panggung dangdut, pergaulan para pemabuk dan tukang kelahi. Adegan seks dan kata-kata kasar bertaburan. Namun uniknya, novel ini tidak terkesan vulgar. Saya rasa hal itu terkait dengan nada penulisan dan posisi narator. Narator berada pada posisi netral: dia tidak memberi penilaian moral apa pun, baik dalam arti menghakimi perilaku tertentu, maupun sebaliknya, yaitu merayakan atau membela perilaku yang berada di luar standar moralitas yang menjadi pegangan mayoritas orang Indonesia.
-
Bagaimana Cara Mengatakan “Tidak”?
Aku tidak terlalu suka setiap kali pipiku dicium oleh Papa, Mama, atau Oma. Rasanya lengket dan basah. Dan betapa mengerikan jika harus mengalami hal itu di bibir, berkali-kali, oleh orang yang tidak kamu kenal, lalu tiba-tiba mati, pikirku saat itu.
-
Sekar: Bunga Rampai Puisi Rindu
Dari tepian air mata, aku mengintipmu tak sengaja. Di permulaan tetesnya, kamu menadahnya dengan tawa. ASU.
-
Teman Duduk
Kita ada di zaman mahalnya harga sebuah telinga. Mendengar dengan empati jadi pekerjaan sulit. Sekadar menjadi pendengar, akan diingat dengan cara yang berbeda. Ketika dunia tidak pernah mau berganti bicara, sibuk bersuara, pada akhirnya tidak ada yang merasa cukup dimengerti.
-
Kelir Slindet
Seri pertama dari dwilogi Telembuk yang sekarang sudah menjadi trilogi Telembuk dengan munculnya Rab(b)i. Bagaimana seorang Safitri muncul adalah cerita utama dalam Kelir Slindet. Sebuah cerita yang memotret kehidupan kelam masyarakat desa yang terjebak dalam budaya dan mentalitas kemiskinan struktural. Kedung menggunakan setting kampung halamannya, Indramayu membuat alur cerita Kelir Slindet seakan sebuah rekonstruksi ulang dari ingatan-ingatan Kedung tentang kampung halamannya.
-
Rab(b)i
Dari pelacur sampai santri menjadi tokoh-tokoh yang muncul dalam buku terbaru Kedung Darma Romansha ini. Tentunya tetap dibalut dengan nuansa dangdut khas Kedung seperti pada novel-novel dia sebelumnya. Dalam Rab(b)i kedung mencoba bermain dengan gaya penulisan barunya tapi tokoh-tokoh yang muncul adalah tokoh-tokoh yang sudah ada dalam dwilogi Telembuknya. Jadi bisa dibilang bahwa dengan munculnya Rab(b)i, Kedung memastikan dirinya sudah menulis trilogi Telembuk
-
Sampah di Laut, Meira
Novel ini bercerita tentang Cola, satu-satunya sampah berpengetahuan luas. Dia ditakdirkan menjalani petualangan panjang selepas keluar dari lemari pendingin dan dibuang begitu saja oleh peminumnya. Banyak pertemuan sekaligus perpisahan yang dia lalui selama melakukan pengembaraan seorang diri tanpa tujuan, tanpa kehendak bebas pergi ke mana pun yang dia inginkan.