Ruhaeni Intan mengawali karya perdananya dengan menyajikan sebuah novela yang ringan namun matang kepada pembaca. Berkisah tentang seorang perempuan 21 tahun, pegawai toko ikan yang memiliki rahasia-rahasia, dari yang paling misterius hingga yang paling tragis.
Meski begitu, si “Aku” sanggup menjalani hidupnya tanpa terjebak dalam keluhan-keluhan yang klise. Novela ini dapat dikatakan sebagai debut yang tidak bisa diabaikan begitu saja sebab narasi di dalamnya merupakan bentuk kesungguhan penulis untuk menghadirkan realita ketidakadilan yang melingkupi perempuan pekerja dan ancaman-ancaman yang mengintai kehidupan mereka.
***
Tiba-tiba si Besar yang ada di dalam kolam itu meloncat dan membuat bocah yang tengah memegang galah kaget hingga terjerembab ke dalam kolam. Jantungku berdebar kencang. Kawannya sibuk berteriak minta tolong. Aku tercekat dan malah tidak mampu bergerak. Beberapa pengunjung mulai mendekat. Seseorang di antara mereka tiba-tiba melompat ke dalam kolam yang keruh. Suasana menjadi begitu kacau. Mereka melempari ikan itu dengan batu.
“Ikan siluman!”
“Lihat ikan itu mau memangsa mereka!”
“Tangkap!”
“Iya, tangkap!”
***
Kutipan
“Sejujurnya aku menghindari berteman dengan banyak orang karena—tahu kan?—suatu saat nanti mereka bakal bersikap menyebalkan dan ada baiknya kalau aku tidak menghabiskan tenaga berurusan dengan yang semacam itu. Percayalah, jauh di dalam hati, sesungguhnya semua orang itu menyebalkan. Mereka cuma belajar bersikap baik karena tidak akan pernah mampu hidup sendirian.”
“Tidak ada yang bisa kembali ke masa lalu. Terlalu banyak orang yang merindukan masa lalu padahal tidak ada bedanya. Penderitaan yang sama, semuanya sama saja.”
“Kupikir gadis itu begitu baik meskipun sudah lama aku percaya tidak mungkin ada orang yang benar-benar baik. Semua orang terlahir jahat sampai seseorang mengajarinya kebaikan.”
“Aku rasa setiap kepala punya nyawanya sendiri yang terpisah dengan bagian tubuh lain, sehingga bisa memutuskan segala sesuatu tanpa bagian tubuh yang lain menyadarinya.”
“Sementara ketika kembali lagi ke dalam toko, kami akan segera berubah menjadi diri kami yang lain di mana setiap kebaikan yang kami lakukan dihitung sebagai sebuah keuntungan dan hal-hal buruk yang kami lakukan dihitung sebagai kerugian. Kami kembali ke sebuah tempat di mana setiap orang tidak diperbolehkan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Sebuah tempat di mana bagiku, setiap orang terlahir kembali sebagai sosok yang membawa keuntungan atau yang mendatangkan kerugian. Pilihannya hanya itu.”
“Kita menanggung penderitaan dari kehidupan menyenangkan yang berada di atas kita.”
“Tidak ada bedanya menjadi ikan arapaima atau menjadi manusia, keduanya sama-sama terkutuk dan menyedihkan di hadapan manusia lain yang mengendalikan segala sesuatunya.”
“Aku bisa merasakan sesuatu yang ada di balik celananya mengeras dan terus mengeras hingga aku berharap itu akan segera meledak dan pecah, berceceran di atas kasur, di lantai kamar.”
***
Ruhaeni Intan – Arapaima